Anda pasti pernah mendengar kata kimono? Tidak sedikit orang asing di luar Jepang yang menyangka bahwa semua baju tradisional Jepang yang memiliki kerah khas Jepang yang dipakai dengan cara menumpukkan bagian depan baju ke arah samping serta melilitkan pita (obi) di pinggang sebagai kimono. Kimono (bahasa Jepang: 着物 secara harafiah: "sesuatu yang dikenakan seseorang," atau "pakaian") adalah pakaian nasional Jepang. Bagi orang Jepang, kimono lebih dikenal dengan sebutan Wafuku (bahasa Jepang: 和服 secara harafiah: "pakaian Jepang") atau Gofuku (bahasa Jepang: 呉服 secara harafiah: "pakaian dari zaman Go di Tiongkok") untuk membedakannya dengan pakaian barat (Yofuku). Kimono terdiri dari beberapa jenis dengan warna, model, serta panjang lengan berbeda . Pemakaian kimono memiliki aturan khusus yang disesuaikan dengan kesempatan, usia, status keluarga, maupun tingkat formalitas acara yang dihadiri. Nah, ini nih macam2 Kimono : Sedangkan yukata adalah jenis kimono yang dibuat dari bahan kain katun tipis tanpa pelapis. Dibuat dari kain yang mudah dilewati angin, yukata dipakai agar badan menjadi sejuk di sore hari atau sesudah mandi malam berendam dengan air panas. Yukata berasal dari kata yukatabira (浴衣帷子). Yukata adalah kimono nonformal yang dipakai pria dan wanita pada kesempatan santai di musim panas, misalnya sewaktu melihat pesta kembang api, matsuri (ennichi), atau menari pada perayaan obon. Yukata dapat dipakai siapa saja tanpa mengenal status, wanita sudah menikah atau belum menikah. Yukata juga dikenakan oleh pelayan restoran tradisional (ryotei), serta disediakan di kamar hotel, penginapan ala Jepang (ryokan), dan onsen (pemandian air panas). Di Indonesia, yukata dapat kita jumpai dikenakan oleh karyawan restoran tradisional Jepang dan dipakai saat acara Bon Odori Festival (festival musim panas) yang diadakan oleh penyelenggara kebudayaan Jepang. Yukata untuk pria biasanya berwarna gelap seperti hitam, coklat tua, biru tua, hijau tua, dan ungu tua dan bercorak garis-garis. Sementara yukata untuk wanita lebih banyak memiliki variasi warna. Namun yang populer digunakan adalah yukata berwarna cerah dengan motif bunga seperti bunga sakura, krisan, kombinasi garis dan bunga, dan motif ikan mas koki. Sedangkan yukata untuk anak-anak sering dijumpai dengan motif kartun seperti hello kitty, pokemon, dsb.
Uchikake (打掛) adalah kimono formal yang berwarna berwarna putih atau merah terang yang dipakai oleh sang pengantin di hari pernikahannya.
Kurotomesode (黒留袖) adalah kimono formal berwarna hitam yang dipakai oleh para orangtua di hari pernikahan anaknya.
Furisode (振袖) adalah kimono yang dipakai oleh wanita yang belum menikah di acara-acara formal dan Seijin shiki (成人式), upacara tradisional untuk merayakan sang remaja perempuan yang beranjak dewasa.
Irotomesode (色留袖) adalah kimono semiformal yang dipakai oleh wanita yang telah menikah untuk menghadiri upacara pernikahan keluarganya.
Homongi (訪問着), Tsukesage (付け下げ) dan Edo Komon (江戸小紋) adalah kimono-kimono semiformal yang boleh dipakai oleh wanita yang telah menikah maupun yang belum menikah untuk menghadiri acara-acara formal dan semiformal.
Maiko Hikizuri (舞妓の引きずり) atau Susohiki (すそ引き) adalah kimono-kimono yang dipakai khusus oleh para geisha dan maiko.
Iromuji (色無地) adalah kimono yang dipakai untuk upacara minum teh.
Dan yang terakhir adalah Yukata (浴衣).
Sejarah Kimono pada Zaman Edo Periode Awal
Sebagai pakaian yang merupakan simbol budaya orang kota yang mengikuti tren, Kosode menjadi semakin populer di kalangan masyarakat.
Zaman Edo adalah zaman keemasan panggung-panggung sandiwara seperti Kabuki. Penemuan cara penggandaan lukisan berwarna-warni yang disebut Nishikie atau Ukiyoe mendorong semakin banyaknya orang yang bisa melihat gambar-gambar pemeran Kabuki dengan pakaian kimono yang gemerlap. Pakaian orang kota cenderung menjadi semakin mewah untuk meniru pakaian yang dikenakan pemain Kabuki.
Untuk mengatasi kecenderungan orang kota yang berpakaian semakin bagus dan menjauhi norma-norma Konfusianisme, pemerintah Bakufu secara bertahap memaksakan Kenyakurei, yakni norma kehidupan sederhana yang pantas. Pemaksaan ini gagal karena keinginan rakyat untuk berpakaian bagus tidak bisa dibendung. Tradisi upacara minum teh (Chanoyu) yang telah berurat berakar juga menjadi sebab kegagalan Kenyakurei. Upacara minum teh yang dihadiri dengan memakai kimono yang sedapat mungkin harus tampak sederhana ternyata sebetulnya berharga mahal.
Pada masa ini mulai dikenal tali pinggang yang disebut Kumihimo dan gaya mengikat Obi di punggung yang bertahan hingga zaman sekarang.
Sejarah Yukata
Dalam kamus Wamyō Ruijushō dari pertengahan zaman Heian, yukatabira (湯帷子) dijelaskan sebagai pakaian yang dikenakan sewaktu mandi berendam. Ketika itu, orang mandi sambil memakai yukatabira di pemandian umum, dan dipakai untuk mengelap keringat, sekaligus menutupi ketelanjangan dari orang lain. Bahan yukatabira adalah kain rami yang cepat kering kalau diperas.
Sejak sekitar zaman Azuchi-Momoyama, yukatabira dipakai orang sebagai pakaian sesudah mandi, untuk menyerap basah seusai mandi. Kalangan rakyat zaman Edo sangat menyenangi yukatabira hingga disingkat sebagai yukata. Ketika itu, yukata bukanlah pakaian sopan yang dipakai untuk bertemu dengan orang lain, melainkan hanya pakaian tidur.
Berbeda dari kimono jenis lainnya, menjahit yukata sangat mudah. Yukata memiliki pola yang sangat sederhana, dan dijahit tanpa kain pelapis di bagian pinggul atau pundak. Hingga seusai Perang Dunia II, cara menjahit yukata diajarkan kepada murid perempuan sekolah menengah umum di Jepang.